Melahirkan ‘Pendidikan Kerakyatan’ di Era Modernisasi

Oleh : Hervian Setyo Nugroho

 

Akhir-akhir ini banyak sekali stasiun televisi yang menayangkan acara reality show. Dari reality show itulah saya lebih ‘paham’ atas permasalahan pendidikan di Indonesia. Pada acara itu diperlihatkan bagaimana nasib anak seorang buruh tani yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Ketidakmampuan orang tua dalam membiayai sekolah merupakan alasan kenapa sang anak putus sekolah. Saya sempat berpikir, apakah ini potret pendidikan di Indonesia?. Masih banyak anak-anak yang tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan hanya karena alasan biaya. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang wajib diberi perlindungan. Hal itu berarti semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan. Tidak pandang bulu, baik kaya maupun miskin semua berhak untuk mengenyam pendidikan. Tulisan ini tidak memberi label atau justifikasi pada institusi tertentu atau individu, melainkan wujud keprihatinan dan harapan penulis mengenai pendidikan di Indonesia.

 

Permasalahan Pendidikan Di Indonesia

 

“Pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia”

Dalam pernyataan Daoed Joesoef yang dikutip Joko Susilo diatas memberi arti bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari segala aspek kehidupan. Dengan pendidikan kita bisa menggapai apa yang kita cita-citakan. Pendidikan pula lah yang akan membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Apa jadinya jika orang tidak dibekali dengan pendidikan?. Pendidikan juga akan membentuk perilaku dan kepribadian seseorang. Maka dari itu, pendidikan sangat penting bagi kehidupan kita.

Di Indonesia sudah ada kebijakan tentang pendidikan dasar, yaitu wajib belajar sembilan tahun. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan bahwa masyarakat dapat merasakan pendidikan dan menuntut ilmu, serta mengentaskan kebodohan dan kemiskinan. Tetapi pada pelaksanaanya, pemerintah dihadapkan permasalahan-permasalahan yang tidak akan ada habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan dan dibicarakan. Permasalahan yang timbul antara lain, orang miskin dilarang sekolah. Benarkah orang miskin dilarang sekolah?. Bila melihat realita pendidikan saat ini, pernyataan tersebut memang tersirat dengan adanya biaya pendidikan yang semakin melangit. Bukan hanya di lembaga pendidikan swasta, lembaga pendidikan negeri pun berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Banyak bukti yang membenarkan bahwa orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan dengan biaya yang sangat tinggi mengakibatkan warga masyarakat yang ingin mengikuti pendidikan mengalami kesulitan, sehingga pendidikan nasional belum bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Pendidikan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki askes ekonomi dan politik yang cukup tinggi. sedangkan orang miskin walaupun anak-anaknya pintar dan cerdas luar biasa hanya mampu berangan-angan.

Kenyataan ini benar-benar terasa sangat pedih bila berada diposisi orang yang kurang mampu. Untuk keberlangsungan hidup, mereka harus membanting tulang dan memutar otak untuk mendapatkan segenggam beras, kalaupun tidak mendapat hasil nasi aking pun siap menjadi makanan. Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa untuk makan saja mereka harus bekerja ektra dan itupun belum pasti apalagi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Mau masuk sekolah harus bayar uang pembangungan, kemudian membeli baju seragam, membeli sepatu, membeli buku, bayar SPP, dan sebagainya. Kapan semuanya gratis? Disaat sang anak tertawa riang karena akan menjadi anak sekolahan, sang ayah akan tertunduk lemas dengan tangan menopang dagunya. Sang ayah akan memikirkan bagaimana cara membayar biaya sekolah anaknya. Kejadian seperti itu, sangat banyak terjadi di seantero Indonesia. Seperti yang diperlihatkan di acara reality show itu, sang anak sangat menginginkan untuk sekolah tetapi orang tua tidak mampu membiayai. Akhirnya sang anak tidak bersekolah dan malah membantu orang tuanya mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Permasalahan lain yang timbul dalam pendidikan yaitu gedung sekolah. Dibeberapa daerah bahkan di Jakarta yang merupakan kota besar masih ada gedung sekolah yang rusak parah dan bisa dikatakan tidak layak pakai. Sehingga, siswa harus belajar di ruang terbuka atau di luar gedung sekolah karena takut suatu saat gedung sekolah tersebut roboh. Lebih ironisnya lagi, ada kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di bawah tenda. Banyak sekali siswa ang terpaksa belajar di ruang terbuka atau meminjam gedung sekolah lain dikarenakan gedung sekolah mereka rusak dan cukup membahayakan bila ditempati. Sekolah yang roboh akibat ditempa angin rebut, gempa atau bencana lain masih bisa dimaklumi. Tetapi bila sekolah roboh tiada angin, tiada badai sungguh kejadian yang luar biasa.

Permasalahan diatas menjadi bukti bahwa masih lemahnya pendidikan di Indonesia ini. Pendidikan merupakan hak asasi manusia, seharusnya semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Kenapa orang miskin mendapat perlakuan yang berbeda?. Mereka (orang miskin) juga sebagai Warga Negara Indonesia yang patut untuk mendapatkan hak yang sama. Pendidikan mahal memang wajar karena mengutamakan kualitas dengan memberikan sarana dan prasarana yang bagus. Tetapi bagi sekolah dengan fasilitas yang standar mematok biaya pendidikan yang hampir sama sungguh sangat memberatkan masyarakat yang kurang mampu. Dalam hal ini pendidikan mahal hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu ‘membayar’, sehingga tidak ada kesempatan bagi orang miskin untuk mewujudkan cita-citanya. Seolah-olah tujuan dari pendidikan ini menjadikan orang miskin tetap miskin dengan kebodohan yang mereka miliki dan begitu juga sebaliknya. Bantuan dana dari pemerintah juga tidak banyak membantu bagi orang miskin. Distribusi dana yang kurang merata menyebabkan banyak anak-anak belum bisa mendapatkan pendidikan.

 

Memperkenalkan ‘Pendidikan Kerakyatan’

 

Permasalahan di atas hanya sedikit dari berbagai permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang ada penulis berusaha memberikan sumbangan solusi. Solusi tersebut berupa ‘Pendidikan Kerakyatan’ yang diciptakan oleh Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tan Malaka merupakan seorang bapak bangsa yang selalu memperjuangkan hak rakyat miskin dalam setiap pendidikan. Konsep pendidikan kerakyatan berisi: Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan CINTA KEPADA RAKYAT MISKIN. Dan ketiga, pendidikan untuk SELALU BERORIENTASI KEBAWAH.

Konsep yang diusung Tan Malaka ini sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Konsep tersebut lebih memfokuskan untuk selalu memperhatikan orang miskin. Dengan menggunakan konsep ini, diharapkan dapat mengajarkan akan cinta rakyat miskin dan selalu berorientasi ke bawah. Tujuannya membentuk pemikiran masyarakat untuk selalu berorientasi ke bawah-selalu melihat keadaan orang miskin tidak mengangan-angan menjadi orang kaya. Mereka akan lebih bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang miskin. Sehingga muncul rasa saling berbagi antara mereka (orang kaya) dengan orang miskin. Dengan demikian diharapkan dapat membantu orang miskin untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Seperti konsep pendidikan yang diidekan Ki Hajar Dewantara, pendidikan kerakyatan terbagi menjadi tiga, yaitu : (1) Pendidikan di lembaga pendidikan (sekolah), (2) Pendidikan di masyarakat, dan (3) Pendidikan di keluarga. Pendidikan kerayatan di sekolah mengajarkan kepada anak didiknya agar cinta kepada orang miskin dan saling berbagi. Sedangkan pendidikan kerakyatan di masyarakat dan di keluarga lebih kepada mencontohkan perilaku untuk selalu berbagi dengan mereka yang kurang mampu. Untuk tercapainya sekolah rakyat tidak lepas dari tangan pemerintah. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan orang miskin untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Dengan tercapainya tujuan pendidikan kerakyatan dapat menurunkan angka kebodohan di Indonesia.

 

Kesimpulan

 

Pendidikan di Indonesia saat ini menuai banyak permasalahan terutama menyangkut hak orang miskin dalam mengenyam pendidikan. Keterbatasan ekonomilah yang membuat orang kurang mampu tidak dapat bersekolah. Solusi yang ditawarkan dalam permasalahan ini adalah “Pendidikan Kerakyatan” yang terbagi menjadi tripusat pendidikan, yaitu: (1) Pendidikan di Lembaga Pendidikan (Sekolah), (2) Pendidikan di Masyarakat, dan (3) Pendidikan di Keluarga. Pendidikan kerakyatan mengajarkan kita akan selalu cinta kepada rakyat miskin-selalu melihat keadaan orang miskin, tidak melihat ke atas (berangan-angan menjadi kaya). Sehingga dengan diterapkannya pendidikan kerakyatan ini dapat membantu orang miskin dalam memenuhi haknya-hak mendapatkan pendidikan.

 

Referensi

Susilo, Joko. 2006. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Penerbit PINUS

Tim KontraS. 2009. HAM, Pemantauan dan Investigasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Tim Penulis. 2010. Seri Buku Tempo: Tan Malaka. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

About pianhervian

Aku hanyalah manusia biasa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP angakatan 2009.... Ingin belajar dan berbagi Cerita dan Informasi di dunia maya....

Posted on 12 Januari 2011, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. nyoman adi irawan

    bentuk tripusat pendidikan itu dalam ranah praktis seperti apa bung?

    • (1) Pendidikan di Lembaga Pendidikan (Sekolah), (2) Pendidikan di Masyarakat, dan (3) Pendidikan di Keluarga . lingkungan sekitar harus mendukung adanya pendidikan yang positif. masyarakat dan keluarga. pendidikan disekolah tidak cukup, seperti pendidikan moral misalnya. masyarakat dan keluarga mempunyai andil dalam pendidikan moral ini, coba bandingkan anak yang berada di lingkungan dengan masyarkat yang menjunjung tinggi sopan santun dibandingkan dengan masyarakat yang ada di daerah lokalisasi misalnya. akan nampak beda sekali. intinya perlu adanya kesadaran baik masyarakat dan keluarga dalam membentuk karakter anak bangsa. kalo hanya mengandalkan sekolah dan peran orang tua sama saja kalo lingkungan masyarakat tidak mendukung,,, hehe

Tinggalkan Balasan ke nyoman adi irawan Batalkan balasan